Saya adalah seorang yang mempunyai impian traveling di berbagai negara sejak kecil. Seperti sebuah pepatah dalam bahasa Chinese 讀萬卷書,不如行萬里路 (duk6 maan6 gyun2 syu1, bat1 yu4 haang4 maan6 lei5 lou6) yaitu artinya "Daripada membaca 10,000 buku, lebih baik berjalan 10,000 langkah". Saya sangat setuju dengan pepatah tersebut, terutama setelah saya melakukan puluhan kali perjalanan ke luar negeri sejak tahun 1997 ke hampir 20 negara termasuk lebih dari 100 kota.
Di kolom Harris Travel Blog ini saya ingin membagikan pengalaman traveling saya sejak tahun 1997, terutama menceritakan pengalaman-pengalaman menarik, lucu, menyeramkan dan juga apa yang saya pelajari ketika mengunjungi sebuah tempat yang asing bagi saya. Pada tahun-tahun awal saya melakukan traveling sendiri adalah pada jaman yang belum ada smartphone dan harus bergantung kepada peta, buku travel dan penunjuk konvensional serta pemesanan tiket transportasi dan tiket admisi ke lokasi-lokasi wisata melalui email, bahkan sebagian hanya dapat dilakukan melalui interlokal dan mesin fax.
2 tahun setelah bekerja di perkantoran pertama, saya memutuskan untuk mencoba melakukan traveling sendiri ala backpacker yaitu menggunakan biaya secara minimal untuk mengunjungi sebuah negara dengan mencari tempat tinggal dan makan yang murah. Maka saya memutuskan untuk mengunjungi kota Tokyo, Jepang untuk melakukan perjalanan pertama kalinya secara backpacker di tahun 1997.
Hal pertama adalah berkeliling di gedung Hang Lung Centre di Causeway Bay, karena pada tahun 1997 Hang Lung Centre terdapat 3 lantai yang semuanya adalah agen travel. Pada waktu itu satu-satunya cara mendapatkan tiket dengan harga termurah hanya melalui agen travel. Kemudian saya mengunjungi Konsulat Jenderal Jepang yang terletak di gedung One Exchange Square di Central untuk meminta daftar Minshuku 民宿 yaitu rumah-rumah penduduk yang menyewakan kamar untuk para pengunjung. Setelah itu saya juga membeli Japan Rail Pass (JR Pass) ジャパンレールパス yaitu tiket perjalanan tanpa batas selama 14 hari khusus untuk para pengunjung asing agar mereka dapat menghemat biaya transportasi yang sangat mahal ketika melakukan perjalanan antar kota dengan kereta biasa atau kereta super cepat yaitu Shinkansen (新幹線).
Untuk mempersiapkan rute perjalanan, saya membeli sebuah buku peta kota Tokyo di sebuah toko buku khusus menjual buku bahasa Jepang yaitu Asayiha Bookstore (旭屋書店) di lantai 10 di pusat perbelanjaan SOGO Causeway Bay. Toko buku tersebut telah ditutup secara permanen pada bulan Agustus 2021. Selain itu saya juga membeli beberapa buku travel tentang kota Tokyo dan Nagoya dalam bahasa Chinese di beberapa toko buka lainnya di Causeway Bay seperti Commercial Press (商務印書館) yang terletak di Yee Woo Street dekat Sugar Street. Setelah itu saya mulai bergelut dengan buku peta dan buku-buku travel yang saya beli untuk membuat rute-rute harian saya selama saya traveling di Tokyo.
Berbeda dengan sekarang, pada tahun 1990an - 2000an dapat dikatakan hampir semua stasiun dan transportasi umum di Jepang tidak memiliki petunjuk atau tulisan di dalam bahasa Inggris. Meskipun terdapat tulisan Kanji 漢字 yang mirip atau sama dengan tulisan Chinese, namun artinya bisa berbeda dan bunyinya juga tidak sama. Oleh sebab itu, saya memutuskan mengikuti kursus kilat di tempat les bahasa Jepang dan membeli beberapa buku pelajaran bahasa Jepang dasar agar paling sedikit dapat menghafal bunyi dari setiap huruf Katakana 片仮名 dan Hiragana 平仮名. Dengan menguasai bunyi dari semua huruf Jepang, maka saya paling tidak akan mampu mengerti setiap pengumuman dan petunjuk-petunjuk di dalam kereta atau stasiun kereta di Jepang, karena 99% transportasi umum yang akan digunakan di Jepang adalah kereta.
Meskipun bukan merupakan pertama kali naik pesawat terbang dan dulunya juga pernah tinggal di tempat yang asing bagi saya seperti Indonesia, tetapi kali ini adalah pertama kali saya melakukan perjalanan ke luar negeri sendiri, maka hati saya merasa sangat senang sekaligus sangat cemas karena tidak tahu seperti apa negara Jepang, dan juga memikirkan jika jadwal bermasalah, terlambat naik kendaraan umum, nyasar di tengah-tengah perjalanan dan lain sebagainya. Meskipun saya sebelumnya telah berkenalan dengan beberapa teman Jepang melalui email, namun berbeda dengan sekarang, pada waktu itu tidak ada smartphone, juga sistem telepon genggam Jepang pada waktu itu sangat berbeda dengan negara lain, maka satu-satunya cara menghubungi teman-teman di Jepang adalah melalui telepon umum di pinggir jalan atau toko. Hal tersebut juga menyebabkan beberapa kali terjadi kesalahpahaman antara saya dengan teman-teman Jepang, hal ini akan saya ceritakan di artikel-artikel selanjutnya.
Untuk pakaian, karena pada waktu itu adalah musim dingin, maka saya membawa sekitar 9 potong baju, 4 celana panjang dan 2 jaket, karena saya pada waktu itu cemas tidak dapat menemukan tempat pencucian baju yang murah, maka membawa baju yang kira-kira saya merasa cukup untuk sepanjang perjalanan saya tanpa harus mencuci baju. Celana dalam juga menggunakan celana dalam terbuat dari kertas yang hanya sekali pakai kemudian dibuang.
Sebelum berangkat saya juga membiasakan mendengar lagu-lagu Jepang yang sedang populer di Jepang pada saat itu dan membaca buku dan majalah Jepang di beberapa toko buku. Meskipun tidak begitu mengerti isinya, tetapi saya mencoba melatih diri untuk merasakan lingkungan dan budaya Jepang. Selain itu membaca majalah juga melatih penalaran ketika mengambil sudut foto sewaktu melakukan pemotretan di Jepang. Sewaktu tiba di Jepang, saya juga membiasakan diri mendengar dan menonton berita dalam bahasa Jepang di TV untuk berusaha lebih mengerti budaya Jepang yang sebenarnya. Kebiasaan ini kemudian saya terapkan di setiap perjalanan saya keluar negeri sampai saat ini.
Ketika mendarat di Bandar Udara Internasional Narita (Narita International Airport), saya merasa terkejut melihat kebersihan bandara tersebut, apalagi jendela-jendela di sana sangat mengilat, karena pada waktu itu tingkat kebersihan Hong Kong tidak seperti sekarang, maka pada waktu itu bagi saya perbandingannya sangat kontras.
Di artikel berikutnya akan mulai saya ceritakan hal-hal menarik yang saya alami selama perjalanan di Tokyo dan Nagoya pada tahun 1997.