Banyak orang yang sebenarnya terlalu menjunjung tinggi ramah tamah orang Jepang. Bagi yang belum pernah ke Jepang terutama secara backpacker terkadang menaruh harapan yang sangat tinggi bahwa semua orang Jepang akan bersikap sangat ramah terhadap semua pengunjung dari luar negeri. Namun pola pikir demikian salah dan terkadang menyebabkan sebuah kekecewaan.
Orang Jepang juga mempunyai emosi dan amarah seperti penduduk-penduduk negara lain jika privasi, budaya, peraturan dan negara mereka tidak dihargai, namun mereka lebih berusaha mencoba menahan amarah tersebut demi tidak mempermalukan diri mereka sendiri di tempat umum atau mempermalukan bangsa mereka di depan pengunjung asing.
Sebelum saya mengunjungi negara Jepang untuk pertama kalinya di tahun 1997 saya telah membeli banyak buku mengenai kehidupan sehari-hari orang Jepang, bahkan berkenalan dengan beberapa orang Jepang melalui email atau chat room pada waktu itu agar komunikasi dengan penduduk setempat selama perjalanan di Jepang untuk pertama kalinya berjalan lancar. Setelah saya tiba di Jepang, saya baru menyadari orang asing yang tinggal di Jepang puluhan tahun, mereka tidak benar-benar memahami apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran orang Jepang.
Ketika tiba di Bandar Udara Internasional Narita (Narita International Airport), orang-orang Jepang yang saya temui langsung adalah para petugas di bandara dan petugas Imigrasi yang akan langsung bertatapan muka langsung dengan saya. Pada tahun 1997, petugas imigrasi di Bandara Narita sebenarnya bisa dikatakan tidak ada ekspresi atau senyum, sama seperti petugas-petugas imigrasi di negara-negara lain, tetapi petugas bandara rata-rata ramah dan berusaha membantu pengunjung yang mempunyai pertanyaan. Namun kendala bahasa Inggris mereka pada waktu itu sangat kurang meskipun mereka bekerja di bandara internasional, tetapi saat ini situasi telah berubah dan petugas di bandara Jepang di kota-kota besar sama sekali tidak bermasalah dalam melakukan percakapan dalam bahasa Inggris.
Kemudian saya naik kereta menuju stasiun Japan Railway (JR) yang bernama Shin-Koiwa (新小岩駅) yaitu dimana letak tempat penginapan saya yang berupa sebuah kamar di rumah seorang penduduk lokal selama 9 hari kedepan di Tokyo. Daerah Shin-Koiwan dapat dikatakan jauh dari pusat kota Tokyo, maka biaya tempat penginapan juga sangat terjangkau bagi saya yang travel ala backpacker. Setelah hampir 2 jam perjalanan kereta dari bandara, saya tiba di stasiun JR Shin-Koiwa dan berjalan kaki menuju ke tempat penginapan saya. Ternyata tidak semudah saya bayangkan karena ketika masuk ke gang-gang kecil sama sekali tidak ada petunjuk jalan. Seperti yang saya ceritakan di artikel sebelumnya, pada tahun 1997 masih jauh dari lahirnya smartphone, apalagi smartphone yang memiliki fungsi peta yang layak digunakan sebagai petunjuk jalan, maka pada waktu itu saya hanya melihat petunjuk yang dituliskan oleh pemilik tempat penginapan dengan tangan.
Setelah mencari-cari selama hampir 1 jam, saya melewati sebuah toko ikan dan mencoba menunjukkan alamat penginapan kepada pemiliknya yang sama sekali tidak bisa bahasa Inggris. Pemilik toko ini sangat baik hati, kemudian ia menyuruh karyawannya mengantar saya dengan mobil ke tempat penginapan. Karyawan tersebut adalah seorang anak muda dengan usia kira-kira 20an tahun dan dia mencoba berdialog dalam bahasa Inggris yang sangat terbatas dan menawarkan saya rokok, namun saya minta maaf dengannya karena saya sama sekali tidak menyentuh rokok. Di dalam budaya Jepang jika seseorang menawarkan minuman arak atau rokok dan kita menolaknya adalah hal yang sangat tidak sopan, itulah sebabnya saya beberapa kali meminta maaf kepada dia ketika ia menawarkan rokok kepada saya.
Setelah tiba di tempat penginapan, saya baru menyadari seluruh anggota keluarga dari pemilik sama sekali tidak bisa bahasa Inggris. Selama ini yang berkomunikasi dengan saya melalui mesin fax ternyata adalah agen mereka. Setelah menaruh koper dan tas ransel di kamar, saya turun dan menggunakan telepon di dekat pintu masuk untuk menelpon beberapa teman saya orang Jepang yang tinggal di Tokyo melakukan perjanjian bertemu. Beberapa hari kemudian ketika saya mau keluar tempat penginapan, istri dari pemilik rumah marah besar kepada saya dengan bahasa Jepang yang saya tidak mengerti. Kemudian saya menelpon teman saya dan meminta tolong menanyakan apa yang dia maksud. Ternyata ia menagih biaya ekstra karena saya pernah menggunakan telepon dia menelpon beberapa teman, dan itu pun ternyata tidak lebih dari HK$5 pada waktu itu.
Setelah itu saya beberapa kali bertemu dengan orang-orang yang mempunyai gangguan jiwa di kereta, pelayan dengan muka senyum tetapi tidak ramah terhadap saya dan lainnya. Namun demikian, selama 9 hari perjalanan saya bertemu lebih banyak penduduk lokal yang sangat baik dan dengan sabar menolong dan menjelaskan rute perjalanan kepada saya, beberapa dari mereka bahkan menjadi teman setelah itu.
Jika anda melakukan sebuah perjalanan di negara lain tidak menggunakan transportasi umum melainkan hanya ikut tur, menggunakan taksi atau mobil sewa dan juga tidak mencoba bergaul dan berbincang dengan warga lokal, maka anda tidak akan dapat merasakan budaya orang lokal yang sebenarnya.
Saya cukup sering melakukan perjalanan ke Jepang karena tujuan pariwisata atau pekerjaan, maka berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri dan cerita dari teman-teman di Jepang, saya mencoba memberikan sedikit tips cara bergaul dengan orang Jepang.
Jangan terlalu terus terang mengungkapkan perasaan anda
Cara penduduk Jepang menjaga keharmonisan satu dengan yang lain adalah tidak sepenuhnya atau sama sekali tidak mengungkapkan perasaan mereka sebenarnya, karena mereka beranggapan hal demikian akan membuat orang lain mungkin merasa tertekan dan tidak nyaman. Contoh seperti ketika anda mengunjungi rumah seorang teman di Jepang dan merasa sangat panas, jangan sampai anda mengatakan "boleh tidak buka ac" karena hal tersebut adalah hal yang sangat tidak sopan, melainkan kita dapat menyindir seperti "hari ini sangat panas ya?", kemudian mereka akan mengerti apa yang anda maksud.
Jika kita diberi hadiah, kita harus memberi hadiah kembali di pertemuan berikutnya
Dalam budaya orang Jepang jika teman atau saudara kita memberikan kita hadiah misalnya senilai JPY 5,000, maka pada pertemukan berikutnya kita harus memberikan mereka hadiah yang senilai atau lebih. Namun sebagian dari mereka tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut kepada teman-teman orang asing, terutama mereka yang pernah menerima pendidikan atau bekerja di luar negeri.
Jangan memberikan tips secara langsung atau menawar harga barang kepada pelayan restoran atau penjaga toko
Di dalam budaya Jepang sebenarnya tidak ada budaya memberikan tips, sebagian orang bahkan merasa memberikan tips adalah sebuah penghinaan. Namun, mereka akan merasa sangat senang jika anda menulis surat apresiasi atau mengisi formulir penilaian dengan komentar positif. Terkadang penduduk lokal tinggal di tempat penginapan Jepang yang merupakan Ryokan (旅館) mewah, jika merasa sangat puas dengan pelayanannya, mereka akan memberikan tips, dengan masukkan ke dalam amplop dan menaruhnya di bawah bantal. Namun saran saya cukup hanya dengan memberikan sebuah surat berupa kata-kata apresiasi serta menuliskan nama karyawan tersebut dan meletakkan ke dalam amplop.
Harus melepaskan sepatu sebelum memasuki rumah penduduk lokal
Hal tersebut sangat penting karena dalam tradisi Jepang adalah hal yang sangat tidak sopan jika kita tidak melepaskan sepatu sebelum memasuki rumah penduduk lokal Jepang. Cara meletakkan sepatu juga ada peraturannya, yaitu yang benar kepala bagian sepatu harus menghadap ke luar, bukan menghadap ke dalam rumah, namun generasi muda sekarang tidak semua mengikuti cara meletakkan sepatu tersebut.
Arah meletakkan sumpit tidak boleh menghadap ke orang lain
Di Hong Kong, arah meletakkan sumpit boleh menghadap mana saja asalkan jangan menancapkan ke dalam nasi. Namun di Jepang sampai saat ini masih terdapat banyak pantangan terkait dengan sumpit. Salah satunya adalah bagian sumpit untuk mengambil makanan tidak boleh diletakkan menghadapkan orang yang duduk berhadapan dengan kita.
Orang Jepang merasa tidak nyaman jika percakapan mengandung kata-kata yang bersifat "memerintah"
Di Indonesia merupakan hal yang biasa jika kita memberi saran-saran kepada teman sebagai tanda kita perhatian dengan mereka, seperti "Kamu jangan terlambat makan, nanti kamu sakit maag", "Hari ini di luar panas sekali, ingat harus banyak minum air" dan lain sebagainya. Namun perkataan-perkataan seperti ini kemungkinan membuat orang Jepang merasa sangat tidak nyaman, karena perkataan-perkataan tersebut bagi mereka mengandung sifat "memerintah". Maka pada umumnya persahabatan antara mereka tidak banyak membahas hal pribadi mereka masing-masing, melainkan lebih ke dalam hati. Seperti mengapa saya memiliki beberapa teman Jepang yang kenal lebih dari 10 bahkan 20 tahun dan sampai saat ini tetap bersahabat, karena ketika kami berkomunikasi kami berusaha menghindari membahas masalah politik negara kita, masalah keluarga, masalah mengenai keuangan. Jika mereka sedang menghadapi masalah, kita cukup hanya memberikan semangat tanpa memberikan banyak pendapat atau komentar mengenai masalah yang dia hadapi, kecuali anda benar-benar mempunyai sebuah solusi bagi dia.
Tentunya tidak setiap kali berkomunikasi dengan teman Jepang itu lancar. Suatu kali saya lupa untuk menghindari kata-kata "memerintah" dan mengucapkan "Jangan tidur terlalu malam, karena besok harus bangun pagi". Teman saya ini merasa sangat tidak nyaman dengan perkataan saya ini dan menegur saya agar jangan menyebut kata-kata seperti ini kepada orang Jepang, meskipun mereka terlihat tidak apa-apa, tetapi dalam hati mereka tidak merasa nyaman.
Masih banyak lagi hal-hal yang harus diperhatikan cara bergaul dengan penduduk lokal Jepang, meskipun anak-anak muda Jepang saat ini cukup terbuka, tetapi banyak tradisi yang mereka masih pegang kuat. Penduduk Jepang di setiap kota juga mempunyai karakter yang berbeda-beda, seperti orang Tokyo sangat mementingkan privasi dan lebih egois dibanding kota-kota lain.
Kota Osaka orangnya lebih terbuka seperti sebagian besar penduduk setempat tidak bermasalah jika kita meminta izin untuk memotret mereka. Bercakap dengan orang Osaka juga mereka lebih berani menceritakan perasaan mereka. Maka sebagian orang Osaka tidak menyukai orang Tokyo, maka ketika melakukan pembicaraan dengan orang Osaka lebih baik menghindari kata-kata yang memuji orang Tokyo.
Kota Kyoto merupakan ibu kota Jepang sebelum Tokyo, maka sebagian orang Tokyo dan Osaka tidak menyukai orang Kyoto karena mereka merasa orang Kyoto merasa diri mereka mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada penduduk kota-kota lain.
Membahas budaya Jepang yang sangat unik ini tidak akan ada habisnya, maka untuk artikel kali ini saya akan tutup di sini. Di artikel berikutnya akan saya ceritakan pengalaman pertama saya mengunjungi Tokyo Disneyland.